Jumat, 19 Oktober 2012

0 Tugas Saiia Pemirsa :D

3.

Sumber-Sumber Hukum Adat
Sumber-sumber hukum adat adalah :
1.

Adat-istiadat atau kebiasaan yang merupakan tradisi rakyat2.

Kebudayaan tradisionil rakyat3.

Ugeran/ Kaidah dari kebudayaan Indonesia asli4.

Perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat5.

Pepatah adat6.

Yurisprudensi adat7.

Dokumen-dokumen yang hidup pada waktu itu, yang memuat ketentuan-ketentuan hukum yang hidup.8.

Kitab-kitab hukum yang pernah dikeluarkan oelh Raja-Raja.9.

Doktrin tentang hukum adat10.

Hasil-hasil penelitian tentang hukum adatNilai-nilai yang tumbuh dan berlakudalam masyarakat.



Kelembagaan Adat Memiliki Fungsi Strategis di Masyarakat

Hukum mempunyai fungsi dan peranan yang sangat besar dalam pergaulan hidup masyarakat Gayo. Fungsi dan peranan hukum dapat dirasakan dari situasi ketertiban, ketentraman, dan tidak terjadinya ketegangan yang berarti di dalam masyarakat Gayo, karena hukum mengatur, menentukan hak dan kewajiban, serta melindungi kepentingan individu dan kepentingan sosial di sana.
Menurut bentuknya hukum terbagi atas hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Hukum tertulis yaitu hukum yang dicantumkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Hukum tidak tertulis yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan dan kenyataan di dalam masyarakat, dianut dan ditaati oleh masyarakat yang bersangkutan. Misalnya hukum kebiasaan dan hukum adat.
Dalam artikel ini penulis ingin menyoroti apa dan bagaimana peran hukum adat itu dalam lingkungan hidup bermasyarakat Gayo. Kehidupan bermasyarakat yang aman, nyaman, dan damai merupakan dambaan dari setiap individu. Untuk memperoleh predikat itu, sebagai masyarakat yang hidup di bawah payung hukum, baik hukum yang tertulis maupun tidak tertulis, senantiasa harus menjalankan aturan atau norma-norma yang berlaku.
Fenomena di lapangan menunjukkan betapa keberadaan hukum adat itu sendiri terkadang sering menjadi bomerang bagi masyarakat Gayo. Sebab tidak jarang ditemukan satu keluarga dalam masyarakat, mendapatkan sanksi sosial akibat melanggar aturan yang telah ditetapkan itu. Salah satu contoh yang penulis lihat langsung yaitu di sebuah komunitas, betapa sedihnya hati seorang ibu yang harus dipisahkan dengan anaknya dari lingkungan keluarga, hanya karena melakukan pelanggaran terhadap ketentuan hukum adat yakni dengan menikah antar sesama warga satu kampung (belah). Pelaksanaan akad nikah harus dilangsungkan mengingat yang bersangkutan itu sebelumnya telah terlanjur melakukan hubungan badan.
Merujuk dari apa yang telah tertera pada hukum tidak tertulis, namun memiliki kekuatan ini, maka pasangan suami-istri ini harus diparak (diusir dari kampung tersebut), dan sanksi ini dapat dicabut paling lambat dua tahun setelah adanya kesepakatan dari kedua belah pihak antara pihak suami dan istri. Isi dari kesepakatan yaitu bahwa suami-istri melalui perwakilannya bersedia meminta maaf di hadapan seluruh masyarakat, bahwa perbuatan mereka itu adalah salah satu bentuk pelanggaran. Selain itu, kepada kedua mempelai maupun keluarganya juga dikenakan sanksi untuk menyembelih satu ekor kerbau serta menjamu seluruh masyarakat kampung.
Sisi positif dari hukum ini adalah untuk memberikan efek jera bagi masyarakat lain agar tidak melakukan pelanggaran. Selain itu juga adalah untuk menjaga marwah keluarga dalam lingkungan masyarakat itu sendiri. Dengan adanya sanksi seperti itu, maka pola hidup bermasyarakat madani akan dapat terwujud. Meski demikian, betapapun tegasnya hukum itu toh masih ada juga masyarakat yang melakukan pelanggaran yang sama, seolah-olah berkata, “alah satu ekor kerbau berapa cuman”. Bagi penulis, sebenarnya yang dinilai bukan dari sudut finansialnya, namun penilaian lebih kepada kenapa sebagai suatu komunitas yang memiliki aturan hukum adat yang telah disepakati kok dilanggar juga? Wallahu ‘alam bissawab.
Selanjutnya dalam skup yang lebih besar lagi, kita melihat betapa banyak hukum, baik itu yang tertulis maupun yang tidak tertulis diinjak-injak oleh masyarakat maupun para perangkat hukum itu sendiri. Seakan-akan hukum ini hanya tajam bagi masyarakat kalangan bawah, sedangkan bagi masyarakat atas hukum tersebut seolah tumpul bahkan hukum bisa dibeli. Sebagai contoh betapa mirisnya hati seorang ibu yang anak semata wayangnya harus berurusan dengan aparat penegak hukum hanya karena mencuri sebuah sandal bekas seharga puluhan ribu, sementara di sisi lain kasus-kasus besar yang melibatkan orang-orang berdasi hingga saat ini belum selesai.
Karenanya melalui rubrik singkat ini, penulis ingin kembali mengetuk hati para pembaca untuk selalu patuh dan taat kepada hukum. Junjung tinggi hukum yang ada. Semoga dengan mematuhi dan mentaati apa yang tertulis maupun ketetapan yang berlaku dalam hukum yang tidak tertulis, cita-cita kita untuk mencapai baldatu taybatu warabbun ghafur akan tercapai.
1. ARTI ADAT
Kalau orang Minang ditanya adat itu apa, maka jawabannya sederhana saja. Peraturan hidup sehari-hari. Kalau hidup tanpa aturan bagi orang Minang namanya “tak beradat”. Jadi aturan itulah adat, dan adat itulah yang jadi pakaiannya sehari-hari. Karena itu bagi orang Minang; duduk tagak beradat, makan minum beradat, berbicara beradat, berjalan beradat, menguap beradat dan batuk saja pun bagi orang Minang beradat. Aturan-aturan itu biasanya disebutkan dalam bentuk
Pepatah-petitih, mamang dan bidal serta pantun. Contoh beradat itu misalnya :
Batanyo lapeh orak (lepas-lelah)
Barundiang sudah makan
Artinya : Kalau ingin bertanya kepada seseorang, tunggulah terlebih dahulu sampai yang bersangkutan hilang lelahnya.
Kalau ada tamu, orang Minang biasanya langsung menyuguhkan minuman. Sesudah rasa haus dan dahaga hilang, barulah ditanya apa maksud kedatangannya. Begitu pula kalau kita kedatangan rombongan tamu yang tujuannya sudah diketahui terlebih dahulu, misalnya untuk merundingkan pelaksanaan perkawinan  maka tamu-tamu setelah diberi minum, kemudian diajak makan terlebih dahulu (biasanya makan malam). Setelah selesai makan malam, barulah diajak berunding mengenai pelaksanaan pekerjaan dan sebagainya. Beginilah kira-kira aturan yang dipakai dalam hal “bertanya” dan “berunding” menurut adat Minang.
Contoh lain misalnya :
Bajalan ba nan tuo
Balayia ba nankodoh
Artinya : kalau kita mengutus suatu rombongan untuk berkunjung kepada keluarga lain guna menyampaikan hajat misalnya untuk meminang, atau bahkan untk melakukan perjalanan jauh misalnya; harus ada “Pimpinan” sebagai kepala rombongan.
Pimpinan itulah yang akan jadi “Pembicara” maupun menjadi Pemandu bagi semua pengikutnya atau rombongan itu. “Tuo” disini artinya orang yang sudah dianggap mengerti adat-istiadat kaumnya sendiri dan lebih-lebih sudah mengerti adat-istiadat orang lain yang akan didatanginya.
Jadi orang yang ditunjuk sebagai pemimpin rombongan ini adalah orang yang arif dan bijaksana sepanjang pengertian adat.
Orang yang arif dan bijaksana menurut adat istiadat sebagai berikut :
Nan tahu condong ka maimpok
Nan tahu lantiang ka manganai
Nan tahu jo ereng jo gendeng
Nan tahu jo baso basi
Tahu dibayang kato sampai
Alun bakilek lah bakalam
Salayang ikan dalam aia
Lah jaleh jantan batinonyo.
Begitu juga dengan pengertian “Balayia ba nankodoh”.
Yang harus dijadikan kepala rombongan itu haruslah orang yang sudah banyak makan garamnya penghidupan (pengalaman).
Tahu di angin na basiru
Tahu jo lauik nan sadidih
Tahu di karang nan balungguak
Tahu jo ombak nan badabua

2. TUJUAN ADAT
Kita tidak akan mengaji lebih dalam HIKMAH yang terkandung dalam setiap aturan itu, sebab apapun hikmah yang kita dapat, semuanya bermuara pada suatu kata kunci yaitu membentuk
individu dan masyarakat yang berbudi luhur, apakah itu adat Jawa, adat Batak, adat Sunda, adat Minang muaranya atau tujuannya akhirnya sama. Yang berbeda hanyalah caranya sesuai dengan ajaran adat yang dianutnya.
Konsekuensi  dari rumusan ini adalah bilamana terjadi suatu cara yang berbeda antara kita dengan suku lain, maka janganlah cepat mengatakan orang “tak beradat”. Yang benar adalah “adatnya” yang berbeda dengan adat kita.

3. KLASIFIKASI ADAT
Sebagai perbandingan dapat kita lihatkan perbedaan BUDAYA antar bangsa. Orang Barat/Indonesia umumnya menganut paham “LADY FIRST”, Bundo Kanduang yang utama, tapi orang Jepang  menganut paham Kesatria, OTOKO NO ICHIBAN, prialah yang nomor satu.
Karenanya kalau naik mobil wanitalah yang naik kemudian, pria Jepanglah yang naik duluan. Kita jangan tersinggung melihat adegan yang demikian.
Begitu juga orang Minang kalau makan, Bapak-bapaknya dulu, “kami bialah kudian” kata ibu-ibu, tapi di tempat lain  adalah  “Lady First”. Dalam hal yang demikian ini Adat Minangkabau mengajarkan   :
Lain padang lain belalang
Lain lubuk lain ikannya.
Di sini kita akan menunjukkan bahwa “Adat Minang” sebenarnya tidak pernah komplikasi  dengan adat lain manapun apalagi akan berkonfrontasi, sebab adat Minang mempunyai daya lentur yang amat tinggi yang memungkinkan ia hidup berabad-abad lamanya sampai sekarang. Namun demikian daya lentur (fleksibilitas) adat Minang itu mempunyai klasifikasi tersendiri, mulai dari yang  agak kaku (rigid) sampai pada yang sangat  luwes. Daya lentur ini dapat  dilihat dari  pembagian adat Minang  yang dibagi 4 (empat) sebagai berikut :

a. Adat nan Saban Adat
Yang dimaksud dengan “adat sabana adat” adalah
“Aturan Pokok dan Falsafah” yang mendasari kehidupan suku Minang yang berlaku turun temurun tanpa pengaruh oleh tempat, waktu, dan keadaan, sebagaimana dikiaskan dalam kata-kata adat :
Nan indak lakang dek paneh
Nan indak lapuak dek hujan
Paling-paling balumuik dek cindawan
“Adat nan Sabana Adat” ini merupakan Undang-undang Dasarnya Adat Minang (UUD-ADAT) yang tak boleh diubah. “Adat nan Sabana Adat” ini pada dasarnya  berlaku umum di seantero “Ranah Minang” baik Luhak nan Tigo maupun di rantau.
Yang termasuk dalam ADAT NAN SABANA ADAT ini adalah :
1. Silsilah keturunan menurut jalur garis ibu yang lazim disebut garis keturunan Matrilinial.
2. Perkawinan dengan pihak luar pesukuan yang lazim dikenal dengan tata perkawinan Eksogami, dan suami yang bertempat tinggal dalam lingkungan kerabat isteri yang disebut Matrilocal
3. Harta pusaka tinggi yang turun temurun menurut garis ibu dan menjadi miliki bersama “sejurai” yang tidak boleh diperjual belikan, kecuali punah.
4. Falsafah “alam takambang jadi guru” dijadikan landasan utama pendidikan alamiah dan rasional dan menolak pendidikan mistik dan irrasional (takhyul).
Keempat hal tersebut diatas  menurut kami termasuk dalam klasifikasi “adat nan sabana adat” yang daya lenturnya sangat kuat dan sulit digoyahkan. Tapi kalau sampai goyah, seluruh adat Minang pun akan rusak karena ke 4 hal tersebut di atas Tonggak Tuonya adat Minang.

b. Adat nan Diadatkan
Yang dimaksud dengan “Adat yang Diadatkan” adalah “Peraturan Setempat” yang diambil dengan kata mufakat, ataupun kebiasaan  yang sudah berlaku umum dalam “suatu nagari”.
Perubahaan atas “Peraturan setempat” ini hanya dapat dilakukan dengan permufakatan pihak-pihak yang  tersangkut dengan Peraturan itu sesuai dengan pepapatah :
Nan elok dipakai jo mufakat
Nan buruak dibuang jo hetongan
Adat habih dek bakarilahan
Adat nan diadatkan ini dengan sendirinya hanya berlaku dalam “satu nagari” dan karenanya tak boleh dipaksakan untuk juga berlaku umum di “nagari” lain. Yang termasuk dalam “Adat yang Diadatkan” ini antara lain mengenai tata cara, syarat-syarat dan upacara Pengangkatan Penghulu; tata-cara, syarat-syarat dan upacara Perkawinan, yang berlaku dalam tiap-tiap nagari.

c. Adat nan Teradat
Yang dimaksud dengan “Adat nan Teradat” adalah kebiasaan dalam kehidupan masyarakat yang boleh ditambah atau dikurangi dan bahkan  boleh ditinggalkan, selama tidak menyalahi “landasan berpikir” orang Minang yaitu  alua-patuik raso-pareso; anggo-tanggo dan musyawarah. “Adat nan Teradat” ini dengan sendirinya menyangkut pengaturan  tingkah laku dan kebiasaan pribadi orang perorangan, seperti tata-cara berpakaian, makan minum dan seterusnya.
Dahulu misalnya para pemuda di kampung biasa memakai kain sarung; kini sudah terbiasa memakai  celana; malah sudah dengan Blue-Jeans. Dulu stiap Muslim Minang pulang haji pakai saroban, sekarang sudah biasa pakai peci, malah sering tanpa tutup kepala. Dulu orang Minang, biasa makan dengan tangan-telanjang, kini sudah biasa pula memakai sendok garpu. Perubahan tata cara ini dianggap tidak melanggar adat.

d. Adat  Istiadat
Yang dimaksud dengan Adat Istiadat adalah aneka kelaziman dalam suatu nagari yang mengikuti pasang naik dan pasang surut situasi masyarakat.
Kelaziman ini pada umumnya menyangkut pengejawatahan unjuk rasa seni budaya masyarakat, seperti acara-acara keramaian anak nagari, seperti pertunjukan randai, saluang, rabab, tari-tarian dan aneka kesenian yang dihubungkan dengan upacara perhelatan perkawinan, pengangkatan penghulu maupun untuk menghormati kedatangan tamu agung.
Adat istiadat semacam ini sangat tergantung pada  situasi sosial ekonomi masyarakat. Bila sedang panen baik biasanya megah meriah, begitu pula bila keadaan sebaliknya.
Disamping pembagian 4 tingkat adat diatas, masih ada satu pengaturan adat yang bersifat khusus dan merupakan ketentuan yang berlaku umum, baik di ranah maupun di rantau.
Pengaturan itu adalah apa yang dikenal dengan
Limbago Nan Sapuluah yang menjadi dasar dari Hukum Adat Minang.
Yang termasuk dalam Limbago nan Sapuluah ini adalah “Cupak nan Duo”; Undang nan Ampek dan Kato nan Ampek; yang menjadi patokan hukum yang berlaku di seantero ranah Minang.

oooOOooo



0 komentar:

Posting Komentar